Minggu, 31 Maret 2013


ASAL USUL GANESHA : ANALISIS SEJARAH SEBAGAI ILMU DAN FOLKLORE

(Mu’azzizah Dara Shivana/120731400293/18/VII/SIK-C)

            Ganesha adalah salah satu dewa di dalam agama Hindu. Nama Ganesha sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, yang terdiri atas kata gana berarti kelompok, orang banyak, atau sistem pengelompokan, dan isha berarti penguasa atau pemimpin. Kata gana ketika dihubungkan dengan Ganesha seringkali merujuk kepada para gana, pasukan makhluk setengah dewa yang menjadi pengikut Shiwa. Nama Ganesha bukan satu-satunya nama, melainkan ganesha juga memiliki nama-nama lain didalam Kitab Amarakosha, yaitu kamus bahasa Sanskerta, Ganesha memiliki daftar delapan nama lain : Winayaka, Wignaraja (sama dengan Wignesa), Dwaimatura (yang memiliki dua ibu), Ganadipa (sama dengan Ganapati dan Ganesa), Ekadanta (yang memiliki satu gading), Heramba, Lambodara (yang memiliki perut bak periuk, atau, secara harfiah, yang perutnya bergelayutan), dan Gajanana (yang bermuka gajah).
            Ganesha juga merupakan salah satu dewa yang terkenal dalam agama Hindu dan mudah dikenali karena kepalanya yang berbentuk gajah. Ganesha lebih dikenal dengan sebutan Dewa Pengetahuan, Dewa Kecerdasan, Dewa Pelindung Seni tapi tidak sedikit juga yang menyebut kalau Ganesha juga merupakan Dewa penyingkir segala rintangan, baik rintangan itu berupa gangguan gaib (magic) maupun gangguan langsung (fisik) dan Dewa Bijaksana. Sebagai dewa ilmu pengetahuan, Ganesha selalu mengundang kekaguman para pakar ikonografi (pengetahuan tentang seni arca kuno) karena bentuk dan gaya seni yang berbeda-beda. Namun ciri utama Ganesha tetap sama, yakni memiliki belalai yang sedang mengisap isi mangkok dalam genggaman tangan depannya. Salah satu cara yang terkenal dalam memuja Ganesha adalah dengan menyanyikan Ganesha Sahasranama, sebuah doa pengucapan "seribu nama Ganesha". Setiap nama dalam sahasranama mengandung arti berbeda-beda dan melambangkan berbagai aspek dari Ganesha. Sekurang-kurangnya ada dua versi Ganesha Sahasranama; salah satu versi diambil dari Ganeshapurana, yaitu sastra Hindu untuk menghormati Ganesha.
            Di kalangan masyarakat Hindu, Ganesha dianggap setengah manusia dan setengah dewa. Peranan Ganesha begitu penting itu disebabkan karena dia adalah anak Dewa Shiwa dan Dewi Sri Parwati. Namun dibalik ketenarannya tersebut, masih menundang misteri tersendiri tentang asal muasal dari Dewa ganesha. Banyak versi yang tercipta tentang ketenarannya tersebut mulai dari kemunculan pertamanya, Ganesha didalam sastra weda & wiracarita, zaman purana, tidak terkecualikan versi folklore yang merupakan cerita rakyat atau lebih dikenal dengan istilah mitos kalau di Indonesia.
            Kelahiran Ganesha, menurut salah satu versi cerita rakyat dilatari oleh permintaan Indra dan para dewa, agar Shiwa menciptakan tokoh yang dapat mengalahkan raksasa yang ingin menguasai tempat tinggal para dewa. Kemudian Siwa mengerahkan salah satu kekuatannya dalam ujud seorang pemuda tampan yang lahir dari rahim Parwati. Pemuda tersebut diberi nama Vighneswara (Penyingkir Rintangan). Kelak dia diperintahkan untuk mengalahkan para raksasa.
            Parwati sangat bangga akan ketampanan putranya. Maka dia mengundang para dewa untuk memamerkan putranya itu. Semua dewa memandang kagum kepada Vighneswara. Kecuali Sani (Saturnus), dia tidak mau memandang Vighneswara karena membawa kutukan isterinya. Konon menurut kepercayaan, apa saja yang dipandangnya akan berubah menjadi abu.Meskipun sudah menolak, Parwati tetap meminta Sani memandang putranya. Akibatnya kepala Vighneswara hancur menjadi abu. Parwati pun sangat berduka. Kemudian Brahma menghibur Parwati dan berjanji memulihkan kepala putranya dengan makhluk pertama yang dilihatnya. Makhluk pertama yang dijumpai Brahma adalah seekor gajah. Sehingga kepala anaknya berubah wujud menjadi kepala gajah.
            Ganesha sangat populer dan banyak pemujanya, terutama dari sekte Ganapatya. Ganapati adalah nama lain Ganesha dalam kedudukannya sebagai pimpinan para gana. Gana adalah makhluk kahyangan yang termasuk di dalam kelompok pariwara kecil yang bertugas sebagai pasukan pengawal Siwa. Dalam cerita wayang, Ganesha disebut Bhatara Gana. Dan versi ini sebenarnya juga ada didalam Kitab Brahmavairavata.
            Menurut Kitab Shiwa Purana, itu bermula ketika suatu hari Dewi Parwati ingin mandi, maka dia panggil pengawal, tapi pengawal sedang tidak ada. Lalu dia panggil anak laki-lakinya yang ternyata juga sedang pergi. Akhirnya dipanggil anak angkatnya yang bernama Ganesha. Lalu Dewi Parwati berpesan, kalau jangan biarkan seorangpun juga memasuki rumah ini ketika dia sedang mandi. Ganesha merupakan anak angkat yang patuh, dia pun mengangguk dan duduk berjaga di depan pintu. Tak lama kemudian ketika Dewi Parwati sedang mandi, Dewa Shiwa datang dan hendak memasuki rumah. Ganesha sesuai perintah ibu angkatnya tentu saja tidak mengizinkan. Kemarahan Dewa Shiwa mencapai puncaknya, sekali tebas kepala ganesha langsung putus. Ketika Dewi Parwati selesai mandi dan mengetahui apa yang terjadi, dia marah kepada Bhatara Shiwa dan meminta Dewa Shiwa untuk menghidupkan kembali Ganesha.
            Menurut kepercayaan waktu itu, Kalau ada orang meninggal karena terpancung, dan jika ada orang lain yang ‘pertama’ lewat disekitar itu lalu diambil kepalanya (dengan cara dipancung juga) kemudian kepala orang kedua dipasangkan ke badan orang yang pertama, maka orang yang pertama tadi bisa hidup kembali. Maka Dewa Shiwa (Bhatara Shiwa) menyuruh semua pengawal berpencar di sekitar rumah untuk mencari orang yang kepalanya bisa dipasangkan ke badan Ganesha. Ternyata setelah waktu berapa lama, tidak ada juga orang yang lewat di sana. Ketika harapan sudah hampir pupus, tiba-tiba seekor gajah lewat. Apa boleh buat, yang pertama lewat ternyata bukan manusia, tetapi gajah. Pengawal dengan sigap memenggal kepala gajah lalu memasangkannya ke badan Ganesha. Ganesha pun hidup kembali, walaupun dengan kepala gajah.
            Tidak ada dendam dan penyesalan pada diri Ganesha. Dia hanya ingin tetap menjadi anak yang baik dan patuh kepada orang tuanya. Keadaan ini akhirnya membuat Ganesha di boyong ke istana Bhatara Shiwa dan dijadikan pengawal kerajaan. Suatu hari dia akan mengawal Dewi Parwati dan anggota keluarga lainnya. Ketika semua naik burung Garuda ternyata Ganesha tidak kebagian tempat dan hanya naik burung biasa. Ketika yang lain bisa berjalan-jalan sejauh mungkin, Ganesha dengan kondisi dan posisinya hanya bisa berputar-putar di sekeliling istana. Semua itu dijalani Ganesha tetap dengan tawa dan ceria, tanpa harus merasa rendah diri. Wajahnya memang telah berubah menjadi si buruk rupa, tapi tidak dengan hatinya. Ia tetap bekerja dan melaksanakan setiap tugasnya dengan sungguh-sungguh dan membantu setiap orang yang membutuhkannya. Akhirnya hati Bhatara Shiwa pun luluh dan bersabda: “Ganesha, selama hidupmu, dimanapun kau berada, kamu akan selalu bermanfaat bagi orang-orang yang ada di sekeliling kamu”. Begitulah salah satu cerita rakyat (legenda) yang terkenal tentang Ganesha.
            Menurut buku yang ditulis oleh Thapan tentang perkembangan Ganesha mengandung sebuah bab tentang spekulasi mengenai peran kepala gajah pada zaman awal di India, namun berkesimpulan bahwa, meski pada abad ke-2 Masehi ada perwujudan yaksa berkepala gajah, itu tidak bisa dianggap menggambarkan Ganapati-Winayaka. Tidak ada bukti mengenai dewa yang disebut memiliki wujud gajah atau berkepala gajah pada permulaan zaman ini. Suatu teori mengenai asal-usul Ganesha dalam kitab Purana mengatakan bahwa, ia perlahan-lahan menjadi tenar sehubungan dengan empat Winayaka, tidak ada yang tahu mengenai kapan tepatnya Ganesha muncul yang ada hanyalah kisah hidup Ganesha yang muncul belakangan sekitar tahun 600-1300.
Dalam mitologi Hindu, para Winayaka adalah kelompok empat makhluk jahat yang membuat rintangan dan kesulitan, namun mudah untuk ditenangkan. Nama Winayaka adalah nama yang biasa bagi Ganesha, baik dalam Purana-Purana maupun Tantra Buddha. Yuvraj krishan menerima teori ini, yang meneliti masalah dan mengungkapkan bahwa referensi tentang Ganesha bukan dewa dalam Weda, melainkan terdapat dalam Bayupurana dan Brahmandapurana. Asal-usulnya mengikuti jejak empat Winayaka, roh jahat, dari Manawagrehyasutra yang menyebabkan berbagai jenis kejahatan dan penderitaan. Penggambaran figur manusia berkepala gajah, yang beberapa di antaranya diidentifikasikan dengan Ganesha, muncul dalam kesenian dan koin India pada permulaan abad ke-2.
            Sedangkan menurut kitab Smaradahana karang Mpu dharmaja dari kerajaan kadiri, diceritakan bahwa Ganesha berkepala gajah karena ketika dewi Parwati hamil tua, dia dikejutkan oleh kedatangan dewa Indra dengan seekor gajahnya yang bernama Airawata, yang pada saat itu tiba-tiba lewat di depan dewi Parwati. Karena terkejutnya sehingga bayi yang dikandungnya lahir, dan ternyata bayi yang baru lahir tersebut berkepala gajah. Seorang sejarawan, Phyllis Granof berkesimpulan bahwa, Mudgalapurana adalah kitab filsafat terakhir yang menyinggung masalah Ganesha yaitu pada aabad ke-17 dan ke-18.
            Asal usul Ganesha sendiri jika dianalisis dari sejarah dan folklore banyak macamnya, bukan hanya cerita dari India tetapi juga dari Indonesia. Kebanyakan dari India, karena Ganesha sendiri merupakan salah satu dewa yang ada dalam agama Hindhu yang berasal dari India, tapi bukan berarti meskipun dari India cerita mengenai Ganesha sudah jelas, melainkan kebalikannya dan itu dikarenakan versi yang sudah terlanjur beredar dalam masyarakat meskipun dalam sebagian kitab Hindhu juga sudah dibahas mengenai Ganesha. Sebenarnya, cerita mengenai asal usul ganesha jika dipandang dari sejarah maupun folklore ada beberapa persamaan dan itu merupakah kewajaran dalam ilmu sejarah, itu tergantung dari masing-masing Individu dalam mempercayainya, versi mana yang lebih meyakinkan.   
            Selain cerita tentang asal usul Ganesha yang sangat beragam, disamping itu semua juga ada penemuan arca Ganesha, salah satunya Ganesha Bunulrejo (Prasasti Kanuruhan), terbuat dari bahan batu andesit yang berasal dari Kampung Beji Kel. Bunulrejo Kec. Blimbing, Malang. Ganesha digambarkan dengan Posisi duduk seperti bayi di bantalan (asana) bunga teratai merah (padma) ganda. Pada bagian leher hingga kepala hilang. Dua tangan belakang serta telapak kedua tangan depan hilang. Keistimewaaan dari arca Ganesha ini yakni di belakang sandarannya dipahatkan sebuah prasasti  yang memuat berita bahwa pada tahun 865 saka bulan Posya wuku wukir (sekitar tanggal 4-7 Januari 935 M).                 
          Ada juga ditemukan arca Ganesha yang berasal dari hibah dari Bapak Jayusman Jl. Sambas No. 10 Malang. Arca Ganesha ini dapat dikatakan utuh. Digambarkan duduk seperti bayidengan badan sangat buntak atau tambun, sehingga kelihatan lucu, namun raut mukanya tampak garang. Kepala memakai mahkota dari rambutnya yang disanggul (jatamakuta). Tangan empat buah (caturbhuja), tangan kanan belakang membawa kapak (parasu), tangan kiri belakang membawa tasbih (aksamala), tangan kanan dengan aus, tangan kiri depan membawa mangkuk (modaka) namun telapak tangan ini pun juga aus. Belalai membelok ke kiri yang pastinya dengan ujung dicelupkan ke dalam mangkuk. Mengenakan kelat bahu (keyura), gelang tangan (kankana), dan gelang kaki (nupura). Di depan perut melintang tali kasta (upavita), perut buncit (lambodara). Keistimewaan dari arca Ganesha ini terdapat tali badong pada bahunya, yang menandakan arca ini hasil kesenian masa kerajaan Kadiri. Keistimewaan yang lain pada tempat duduknya yang berbentuk persegi terdapat gambar tikus. Tikus merupakan tunggangan dari dewa Ganesha. Di Indonesia, arca Ganesha digambarkan bersama-sama dengan tikus sangat jarang didapat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar